Mantra Pengikat

Beberapa tahun yang lalu saya sempat pulang kampung ke Bali. Tidak tepat disebut pulang kampung sebenarnya. Bali adalah kampung kedua, saya cukup lama hidup disana. Di Bali, saya menginap di rumah seorang sobat jaman SMA, sebut saja namanya Anom. Rumah Anom, rumah khas Bali dengan pekarangan luas, terdiri atas beberapa bangunan yang terpisah-pisah. Kamar tidur, Dapur, ruang keluarga untuk reriungan, Bale bengong untuk berbengong ria sambil menatap akuarium besar, semua itu berdiri terpisah-pisah.

Demi menghormati kehadiran kawan lama, Anom mengatur suatu reuni kecil. Tapi apa daya, terbentur kesibukan, dari sekian puluh undangan reuni yang disebar, hanya seorang saja yang datang, yakni Nyoman.

Singkat cerita setelah menghabiskan sepanjang siang mengelilingi Bali, Saya, Anom dan Nyoman kelelahan. Malam telah menjelang. Di kamarnya yang besar, Anom dan Nyoman sudah lelap tidur dengan damai. Sementara saya, terbiasa tidur subuh, belum juga mengantuk. Bosan, akhirnya saya menyalakan komputer, dan mulai memainkan game adiktif terhebat sepanjang masa: Spider Soliter. Demi menghormati kedua sobat yang sudah terkapar itu, saya tidak menyalakan winamp. Jadilah saya berjuang keras memecahkan misteri kartu-kartu di layar komputer, ditemani dengkur konstan dua mahluk cinta damai itu. Tapi kesunyian itu tidak berlangsung lama. Terdengar suara gaduh, seperti ada yang jatuh, di halaman. Saya langsung menajamkan telinga, mencoba menangkap informasi lebih lengkap perihal bunyi tersebut. Sebetulnya saya berharap ada suara kucing yang menyusul suara misterius tersebut. Tapi tidak ada suara kucing. Saya sibak tirai jendela, dan samar-samar terlihat siluet seseorang yang berjalan mengendap-endap. Karuan tenggorokan saya tercekat, tegang. Buru-buru saya goncang-goncangkan badan dua sobat saya yang sedang mimpi indah, walaupun pose tidur mereka sungguh sedang romantis sekali.

“Ada maling!” Bisik saya ketika mereka berdua berhasil bangun.



Mata Nyoman yang tadinya sayu langsung mendelik. Anom bergegas berdiri, berjalan menuju lemari. Dari situ, ia mengambil sebilah samurai. Saya sendiri mengambil sebilah balok kayu yang tidak seberapa besar, di bawah dipan. Nyoman mengambil sapu. Dengan isyarat tangan, Anom memerintahkan kami berjalan mengendap-ngendap menuju halaman. Benar. Di halaman, ada seorang laki-laki bertubuh tambun. Dia jongkok di atas tanah, saya curiga dia tengah buang hajat. Sementara di belakangnya terdapat sebuah tas lumayan besar.

“Maling!” Anom berteriak sambil mengangkat samurainya tinggi-tinggi, berlari menyerbu orang itu. Saya dan Nyoman ikut berlari mengikuti Anom. Adegannya mungkin terlihat konyol, Anom bagaikan seorang shogun dengan samurainya, saya seperti kuli bangunan dengan balok kayu, dan Nyoman entah terlihat seperti apa, karena dia membawa sapu ijuk. Sewaktu lari, saya sempat berpikir kalau Anom sampai menebas leher orang itu, bisa gawat urusannya. Orang itu terkejut melihat kami bertiga, membenahi celananya, dan sebelum sempat kabur, Anom lebih sigap melayangkan sebuah tendangan. Orang itu jatuh terguling.

“Ampun!” jeritnya. Anom menendang si Tambun lagi. Aksinya diteruskan oleh Nyoman, menusuk-nusuk punggung si tambun, dengan gagang sapu. Saya sendiri siap siaga di belakang Nyoman. Siap-siap kalau terjadi sesuatu, balok di tangan saya lumayan lah buat bikin memar.

Dengan bahasa Bali yang paling kasar, Anom menginterogasi si Tambun, sambil mengacung-acungkan Samurainya tepat didepan muka si tambun. Demi kenyamanan pembaca, saya simpulkan saja interogasi tersebut. Benar, tadinya ia berniat buang hajat di halaman rumah Anom, salah satu syarat dalam ilmu permalingan. Mendengar itu, Anom menendang si Tambun lagi. Saya melihat sekeliling, beruntung, si tambun ini rupanya belum sempat menunaikan ritual buang hajat tersebut. Dan beruntung juga sebelum Anom makin kalap lalu mendayagunakan samurainya, Bapaknya datang. Rupanya suara gaduh kami membangunkan beliau.

 “Biarkan saja, besok pagi baru kita urusin” kata Bapak Anom.

“Maksudnya biarin saja, bagaimana?” saya spontan bertanya. Lalu Bapak Anom menceritakan kalau rumahnya ini sudah dipasangi jimat dan mantra-mantra penangkal maling. Sekuat apapun maling itu berlari, ia akan terhenti di situ-situ juga, di halaman rumah Anom. Walaupun di benak si tambun, mungkin ia telah berada di antah berantah nan asing, entah di hutan mana. Wow! Menurut saya, itu mantra yang efektif dan efisien. Lebih berguna daripada memasang alarm, ataupun menelpon polisi.

Bapak Anom berhasil meyakinkan kami bertiga. Akhirnya kami balik ke kamar, meninggalkan si tambun tergolek begitu saja di halaman. Kasihan juga dia, sejauh apapun dia lari, sampai nafasnya habis sekalipun, ia akan tetap berada di halaman rumah Anom. Keesokan harinya kami bertiga bangun kesiangan. Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan nasib si tambun.

“Dilepasin sama Bapa” demikian Anom memberi penjelasan perihal kejadian semalam. Saya dan Nyoman manggut-manggut saja. Dalam hati sih saya berharap semoga mantra serupa tidak berlaku bagi kami. Nggak lucu saja kalau saya udah merasa sampai Jakarta, mulai sibuk dengan kegiatan sehari-hari, bekerja dan sebagainya, eh, ternyata sebenarnya fisik saya masih ada di halaman rumah Anom. Atau jangan-jangan memang demikian? Waduh!

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review Asterix: The Land of the Gods

Pesan Dibalik Lagu: Sigur Ros

Wanita di Linimasa