Ketika 5W1H Tak Cukup Lagi



Kemarin sore saya iseng membeli koran pada seorang tukang koran yang lewat. Tukang Koran itu bersepeda, menjajakan dagangannya dengan berteriak hingga suaranya parau; “koran! koran!”. Saya lihat koran di keranjangnya masih bertumpuk.

“Udah ada internet, mas. Orang jadi malas beli koran.” Ia menjelaskan tentang dagangannya yang masih menumpuk itu. “Saya kalau bawa Kompas 125 eksemplar. Ngabisin 100 biji aja susahnya minta ampun”, lanjutnya.

Media cetak tengah menghadapi ancaman persaingan dari serbuan televisi, radio, dan internet. Hari ini praktis tak ada orang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Orang mengandalkan media elektronik. Suratkabar tak bisa bersaing cepat dengan media elektronik.

Tapi media cetak punya kekuatan sendiri. Letaknya pada kedalaman reportasenya. Suratkabar bisa berkembang bila ia menyajikan berita yang mendalam dan analitis.

Tom Wolfe, seorang wartawan Amerika, pada tahun 1973 meluncurkan antologi berjudul The New Journalism. Ia menyebut artikel-artikel dalam antologi itu sebagai ‘jurnalisme baru.’ Wolfe membuat empat karakteristik jurnalisme baru yang membedakannya dengan jurnalisme konvensional. Pertama, pemakaian konstruksi adegan per adegan. Kedua, pencatatan dialog secara utuh. Ketiga, pemakaian sudut pandang orang ketiga. Keempat, catatan yang rinci tentang gerak tubuh, kebiasaan, dan berbagai simbol kehidupan orang-orang yang muncul dalam peristiwa.

Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W 1H versinya menjadi demikian, “who” berubah menjadi karakter, “what” menjadi plot atau alur, “where” menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motif, dan “how” menjadi narasi.

Jurnalisme yang baru ini, sering disebut sebagai jurnalisme sastrawi. Ada juga yang menamainya “narrative reporting.” Ada juga yang menyebutnya “passionate journalism.” Pulitzer Prize menyebutnya “explorative journalism”. Apapun nama yang diberikan, genre reportase ini lebih dalam daripada in-depth reporting. Ia tidak sekedar melaporkan tentang seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu.

Bayangkan, anda menulis reportase dengan sebuah setting tempat yang detail, juga karakter yang wataknya sangat jelas terlukis dalam kata-kata. Ini tak ubahnya seperti sebuah fiksi. Bukankah itu salah satu pilar dalam sebuah kisah fiksi? setting yang detail dan karakter yang kuat?

Jurnalisme yang oleh Tom Wolfe disebut sebagai gaya baru itu, jurnalisme yang multidimensi. Ia menuntut jurnalis untuk memiliki kecakapan dalam membuat narasi, ataupun deksripsi yang rinci, hidup, kontekstual, dan relevan, yakni Kemahiran menulis yang biasa dipakai dalam menulis cerita fiksi. Kematangan dan kemampuan bahasa seorang jurnalis, menjadi tuntutan utama. Dan lebih daripada itu, reportase ini pun sangat erat kaitannya dengan penelitian sosial. Dalam menggarap laporannya, seorang jurnalis selayaknya sedang melakukan penelitian etnografi.

Jurnalisme Sastrawi yang sangat dalam ini bisa jadi mengembalikan posisi tawar koran yang dirongrong oleh media elektronik. Kendalanya mungkin terdapat pada ongkos penulisan per artikel yang mahal karena ia butuh riset yang sungguh-sungguh dan verifikasi berulang-ulang. Konsekuensinya, harga jual per eksemplar sulit dipatok pada harga rendah.

——————————-
rujukan:

http://www.blogster.com/adiansaputra/jurnalisme-sastrawi

http://andreasharsono.blogspot.com/2005/11/buku-jurnalisme-sastrawi.html

http://wiwidk.blogspot.com/2008/01/jurnalisme-sastrawi.html

http://junarto.wordpress.com/2007/09/08/eksperimen-jurnalisme-sastrawi/

Comments

Popular posts from this blog

Review Asterix: The Land of the Gods

Pesan Dibalik Lagu: Sigur Ros

Wanita di Linimasa