Bulan di Kubangan



Duduk disebelahku, seorang wanita yang mengaku bernama Bulan. Ia memang tampak seperti Bulan malam ini, berdandan cerah ceria, namun terkesan muram, walaupun tetap membuatnya mudah terlihat dalam ruang yang minim cahaya ini. 

Ia memperhatikan aku yang menghabiskan isi gelas dengan perlahan-lahan. Ia memperhatikan aku yang menghisap rokok dalam-dalam. Ia memperhatikan aku yang sebentar-sebentar mengusapkan telapak tangan ke wajah. Ia memperhatikan bulir keringat yang sedikit demi sedikit mulai muncul di dahiku. Caranya menatap, memperhatikanku, itu membuatku gugup!

Beruntung, Sayup-sayup alunan musik yang aku kenal meredakan rasa gugup itu. Aku kenal nada-nada ini dari seseorang yang sangat aku kasihi. Misty*, lagu itu berhasil membawaku terbang ke beberapa saat yang lalu. Waktu dimana dia yang aku kasihi itu masih teramat nyata, bisa kusentuh, kukecup, kucumbui. Ah, belum terlalu lama, tapi aku sudah begini rindu.

Aku tahu, aku tak lagi berhak untuk mengajaknya berkeliling untuk sekadar menghirup aroma kota. Di hari-hari kerja, aku habiskan waktuku pada setumpuk berkas yang tak ada habisnya itu. Lalu terkapar di malam hari. Tapi di malam minggu seperti ini, biasanya aku habiskan waktu hanya untuk dia. Lalu terkapar di malam hari, dengan dia berada disisi tempat tidurku.

"Apa yang membuatmu terdampar disini?" Bulan bertanya memecah lamunanku.

"Sama sepertimu" Aku menjawab asal.

"Adakah kau kemari untuk menenggelamkan diri ke dalam kubangan?" Bulan bertanya sambil tertawa. Pipinya bersemu memerah. Darah dari jantungnya rupanya mulai terpompa dengan deras.

"Kau sebut ini kubangan?" aku balik bertanya. Aku Menatap lurus pada deretan botol yang terpampang rapi di lemari kaca, pada dua orang yang beraksi melempar-lemparkan gelas ke udara, pada orang-orang yang berdandan gemerlapan di tiap sudut ruangan.

Bulan kembali tertawa. Sesungguhnya, tawanya itu indah dan bernotasi. Kuduga ia seorang penyanyi yang menguasai seluk beluk teknik bernyanyi.

"Ya, ini salah satu kubanganku. Jelas kau tidak punya alasan yang sama denganku disini. Aku disini untuk berkubang. Kau, apa alasanmu berada disini?"

"Bukan urusanmu!"

Bulan sedikit terkejut mendengar jawabanku. Aku bisa melihat bahu dan kepalanya tersentak kecil tadi. Tapi ia masih bisa tersenyum. Dan oh, ia cantik! Makin cantik ketika tersenyum. Bulan beranjak dari tempatnya duduk, berdiri dibelakangku, memegang pundakku, lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku.

"Aku akan ceritakan padamu sebuah kisah sedih," bisiknya.

"kau mabuk!" Aku berjengit, mendorong pipinya jauh-jauh. Aroma minuman keras menyengat kuat dari bibirnya. Aku bisa ketularan mabuk bila berlama-lama dekat dengan dia.

Bulan terkikik pelan, kembali ke bangkunya. Duduk ia disitu menyilangkan kaki. Sebentar ia menatap orang-orang yang datang dan pergi, sebentar kemudian menatap aku. Sebentar ia menatap gelas-gelas kosong yang ditinggalkan para tamu, sebentar kemudian ia menatapku. Ia terus saja menatapku. Tatapannya membuatku gugup!

Misty telah selesai diputar entah sejak kapan. Aku bergegas beranjak pergi, diiringi tatapan Bulan. Minggu depan mungkin aku akan kemari lagi. Mungkin Bulan akan kembali berkubang disini. Mungkin aku akan siap mendengar kisah sedih yang ingin ia ceritakan. Minggu depan, atau bulan depan, atau tiga bulan mendatang, mungkin, yang pasti bukan sekarang.


*Misty, Lagu Jazz Standar yang dipopulerkan oleh Erroll Garner.

Comments

Popular posts from this blog

Review Asterix: The Land of the Gods

Pesan Dibalik Lagu: Sigur Ros

Belajar Menulis Fiksi Dengan Bantuan MacGuffin