Pesan Dibalik Lagu: Sigur Ros



Saya sedang mendengarkan Sigur Ros, Band asal Islandia. Sigur Ros dikenal luas sebagai band dengan musik yang megah menenangkan. Fans Sigur Ros bertebaran di seluruh dunia. Walaupun kebanyakan dari fans tersebut tidak mengerti apa sebenarnya yang dinyanyikan oleh Sigur Ros, karena Sigur Ros menulis lirik-lirik lagunya dalam bahasa Islandia. Yah, bahasa Islandia, tentunya bukan bahasa yang populer.

Saya ingat, pertama kali mengenal Sigur Ros lewat album Ágætis byrjun. Salah satunya berjudul "Svefn-g-englar". Dalam lagu tersebut, terdapat part ketika Jonsi sang vokalis menyanyikan sebuah lirik yang seolah berbunyi: "Ciu... Ciu..". Hal itu mengingatkan saya pada produk miras buatan lokal. Saya yakin, Sigur Ros tidak sedang bicara tentang ciu, miras lokal!

Kenapa Sigur Ros yang saya nggak ngerti bahasanya itu bisa sedemikian terkenal? Akan hal ini, saya jadi ingat sebuah perspektif komunikasi yang dikemukakan oleh Marshall McLuhan.

The Medium is the message! Begitu kata Marshall McLuhan dalam ajarannya yang terkenal: Media is the extention of man. Menurut McLuhan, fokus komunikasi tidak hanya terdapat pada pesan yang disampaikan, melainkan juga pada media yang dipakai.

Scout Mcloud, dalam bukunya yang menarik, Understanding Comics, mencontohkan teori McLuhan ini dengan sendok yang dipakai saat makan. Sendok, berfungsi sebagai perpanjangan (ekstensi) tangan. Ia mencontohkan pula ketika seorang yang sedang mengemudikan mobil, ditabrak oleh mobil lainnya. Biasanya si pengemudi akan spontan berteriak: "Aduh!". Padahal yang tergores/lecet, bukanlah dirinya melainkan mobilnya.

McLuhan sendiri mencotohkan teorinya itu dengan sebuah bola lampu. Bohlam, alias bola lampu, bukanlah media berkonten layaknya TV, Koran atau radio, namun, bola lampu juga dapat mempengaruhi lingkungan. Ketika ia menyala, ia menerangi ruangan. McLuhan menyebut bola lampu tersebut sebagai "medium without any content".

Saya kira, ini juga bisa dikaitkan dengan internet. Internet, dengan konten didalamnya yang beragam, seolah mampu menarik perhatian kita sehari-hari. Bisa anda bayangkan misalnya kita sudah lebih dari seminggu tidak membuka twitter, atau facebook, atau blog, atau apapun layanan instant messenger yang terinstall di gadget? Adakah kita merasa gelisah? Begitulah, menurut pandangan Marshall McLuhan, media itu sendiri lebih penting daripada isi pesan yang disampaikan oleh media tersebut.

Bagaimana dengan musik?

Mungkin pandangan McLuhan akan tetap sama. Musik adalah media komunikasi juga. Apapun lirik yang terkandung dalam lagu dangdut, ia dengan mudahnya dituduh sebagai musik yang disukai oleh kalangan kelas bawah. Hal yang sama juga berlaku, misalnya kenapa musik independent digemari oleh anak-anak muda yang bebas berekspresi, kenapa rock and roll terkesan liar, kenapa post rock membuat galau..

Apapun lirik yang mereka tulis dalam lagunya, bisa jadi, orang tidak terlalu peduli. Lirik, sebagai pesan yang disampaikan dalam bentuk lagu, memang penting. Tapi rupanya, musiknya sendiri jauh lebih penting daripada lirik. Seperti kata Kuburan, band bandung itu, lebih baik lupa liriknya daripada lupa kuncinya.

***
Lagu Sigur Ros favorit saya adalah Njósnavélin. Lagu tersebut terdapat dalam film Vanilla Sky. Di berbagai kesempatan, saya mendapati bahwa Njósnavélin ini juga diberi judul dalam bahasa Inggris. Judulnya dalam bahasa inggris: The Nothing Song..

Comments

  1. Holy God, your blog have the most stunning theme that I've ever seen. Oya Sigur Ross ini yang ngisi film We Bought a Zoo sama adegan puncaknya 127 hours ya? Keren banget lagunya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Belajar Menulis Fiksi Dengan Bantuan MacGuffin

Review Asterix: The Land of the Gods